Minggu, 08 Maret 2009

Stomatitis Aphtous Reccurent/SAR (Sariawan)


Definisi

Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Istilah recurrent digunakan karena memang lesi ini biasanya hilang timbul. Luka ini bukan infeksi, dan biasanya timbul soliter atau di beberapa bagian di rongga mulut seperti pipi, di sekitar bibir, lidah, atau mungkin juga terjadi di tenggorokan dan langit-langit mulut.

Penyebab

Hingga kini, penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya. Beberapa diantaranya adalah:

* Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit, atau ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal sehingga menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat makan/mengunyah
* Kekurangan nutrisi, terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.
* Stress
* Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan terhadap iritasi
* Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus penderita memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya sendiri.
* Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan yang mengiritasi jaringan lunak
* Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama makanan.

Ada juga teori yang menyebutkan bahwa penyebab utama dari SAR adalah keturunan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang orang tuanya menderita SAR lebih rentan untuk mengalami SAR juga.

Gejala

Awalnya timbul rasa sedikit gatal atau seperti terbakar pada 1-2 hari di daerah yang akan menjadi sariawan. Rasa ini timbul sebelum luka dapat terlihat di rongga mulut.

Sariawan dimulai dengan adanya luka seperti melepuh di jaringan mulut yang terkena berbentuk bulat atau oval. Setelah beberapa hari, luka seperti melepuh tersebut pecah dan menjadi berwarna putih di tengahnya, dibatasi dengan daerah kemerahan.

Bila berkontak dengan makanan dengan rasa yang tajam seperti pedas atau asam, daerah ini akan terasa sakit dan perih, dan aliran saliva (air liur) menjadi meningkat.

Berdasarkan ciri khasnya secara klinis, SAR dapat digolongkan menjadi ulser minor, ulser mayor, dan ulser hepetiform.

Ulser minor adalah yang paling sering dijumpai, dan biasanya berdiameter kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa menimbulkan jaringan parut. Bentuknya bulat, berbatas jelas, dan biasanya dikelilingi oleh daerah yang sedikit kemerahan. Lesi biasanya hilang setelah 7-10 hari.

Ulser herpetiform adalah yang paling jarang terjadi dan biasanya merupakan lesi berkelompok dan terdiri dari ulser berukuran kecil dengan jumlah banyak.

Pemeriksaan

Selain pemeriksaan visual, pemeriksaan laboratoris diindikasikan bagi pasien yang menderita SAR di atasi usia 25 tahun dengan tipe mayor yang selalu hilang timbul, atau bila sariawan tidak kunjung sembuh, atau bila ada gejala dan keluhan lain yang berkaitan dengan faktor pemicu.

Diagnosis banding

Lesi SAR bisa sangat mirip dengan manifestasi penyakit lain dan sulit dibedakan dengan beberapa penyakit tertentu. Untuk membedakannya, ada beberapa hal yang perlu diketahui di antaranya:

* Jumlah, bentuk, dan ukuran lesi, serta seberapa sering lesi hilang timbul (rekuren)
* Usia penderita saat pertama kali timbul sariawan
* Perubahan mukosa atau jaringan kutan
* Ada/tidaknya keterlibatan sistem organ atau adanya gejala lain
* Obat-obatan yang sedang dikonsumsi
* Faktor-faktor pada host/penderita, misalnya:

* Genetik
* Defisiensi nutrisi
* Masalah pada sistem imun
* Stress, masalah psikologis atau fisik

* Apakah pasien menderita HIV/AIDS

* Penyakit AIDS biasanya bermanifestasi secara klinis di rongga mulut. Biasanya timbul ulserasi bisa berupa SAR dalam jenis minor, mayor atau herpetiform. Selain itu juga dapat terjadi candidiasis yaitu infeksi jamur Candida.

Patogenesis

Ada beberapa teori yang menyebutkan kaitan SAR dengan mikroba di dalam mulut seperti streptococcus, Heliobacter pilori dan herpes virus, namun hingga kini teori tersebut belum disepakati secara universal.

Faktor utama yang dikaitkan dengan SAR adalah faktor genetik, defisiensi hematologi, kelainan imunologis, dan faktor lokal seperti trauma pada mulut dan kebiasaan merokok. Selama 30 tahun terakhir penelitian yang dilakukan menyiratkan adanya hubungan antara SAR dan limfotoksisitas, antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity, defek pada sel limfosit, dan perubahan dalam rasio limfosit CD4 terhadap CD8.

Riset yang baru-baru ini dilakukan banyak berpusat pada jaringan sitokin mukosa. Salah satu penelitian mengungkapkan bahwa adanya respon imun yang diperantarai sel secara berlebihan pada pasien SAR, sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa.

Selain itu, faktor yang paling banyak didokumentasikan dalam penelitian adalah faktor herediter. Dalam satu penelitian yang melibatkan 1303 anak dari 530 keluarga, didapati adanya kerentanan yang lebih meningkat terhadap SAR pada anak-anak yang orang tuanya adalah penderita SAR. Pasien yang memiliki orang tua penderita SAR beresiko hingga 90 % untuk terkena SAR juga, sedangkan pasien yang orang tuanya tidak pernah terkena SAR hanya beresiko 20 %. Lebih jauh lagi, human leukocyte antigen (HLA) yang spesifik secara genetik ternyata teridentifikasi pada pasien SAR, terutama pada kelompok etnis tertentu. Ada juga penelitian yang mengkaitkan SAR minor dengan faktor genetik yang berkaitan dengan fungsi imun terutama gen yang mengendalikan pelepasan Interleukin (IL)-1B dan IL-6.

Defisiensi hematologi terutama serum besi, folat, atau vitamin B12­­ juga banyak dikaitkan sebagai faktor etiologis dari pasien SAR. Salah satu penelitian melaporkan keadaan klinis yang membaik hingga 75 % pada pasien SAR saat defisiensi hematologis yang dideritanya terdeteksi dan dilakukan terapi.

Faktor lainnya yang dikaitkan dengan SAR diantaranya adalah kecemasan dan stress psikologis yang sering terjadi. Perubahan hormon seperti menstruasi, trauma pada jaringan mukosa seperti sering tergigit secara tidak sengaja, dan alergi makanan juga dilaporkan sebagai faktor resiko terjadinya SAR.

Perawatan

SAR sebetulnya dapat sembuh sendiri, karena sifat dari kondisi ini adalah ­self-limiting.

Obat-obatan untuk mengatasi SAR diberikan sesuai dengan tingkat keparahan lesi.

Untuk kasus ringan, jenisnya bisa berupa obat salep yang berfungsi sebagai topical coating agent yang melindungi lesi dari gesekan dalam rongga mulut saat berfungsi dan melindungi agar tidak berkontak langsung dengan makanan yang asam atau pedas. Selain itu ada juga salep yang berisi anestesi topikal untuk mengurangi rasa perih. Obat topikal adalah obat yang diberikan langsung pada daerah yang terkena (bersifat lokal).

Pada kasus yang sedang hingga berat, dapat diberikan salep yang mengandung topikal steroid. Dan pada penderita yang tidak berespon terhadap obat-obatan topikal dapat diberikan obat-obatan sistemik.

Penggunaan obat kumur chlorhexidine dapat membantu mempercepat penyembuhan SAR. Namun penggunaan obat ini secara jangka panjang dapat menyebabkan perubahan warna gigi menjadi kecoklatan.

Obat-obatan tersebut didapat dengan resep dokter. Meskipun penyakit ini terbilang ringan, ada baiknya bila ditangani oleh dokter gigi spesialis penyakit mulut (drg. Sp.PM)

Pencegahan

1. Hindari stress yang berlebihan, dan tingkatkan kualitas tidur minimal 8 jam sehari. Tidur yang berkualitas bukan hanya dilihat dari lamanya waktu tidur. Tidur dalam kondisi banyak beban pikiran atau stress dapat menurunkan kualitas tidur.

2. Perbaiki pola makan. Pola makan dan diet yang sehat tidak hanya akan mencegah sariawan namun juga meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Perbanyak sayuran hijau dan buah yang kaya akan asam folat, vitamin B-12 dan zat besi. Bila sedang menderita SAR, hindari makanan yang pedas dan asam.

3. Jaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut.

Tidak ada komentar: