Selasa, 12 Mei 2009

Obat Batuk & Flu ditarik oleh FDA

Pernah dapat EMAIL berisi DATA seperti di bawah ini?

“Phenylpropanolamine obat influens (decongestant) sejak 1Maret 2009 ditarik Bdn pngawasan obat & pangan Amerika (FDA) krn terbukti sebabkan PENDARAHAN di OTAK. Obat2 di Indonesia yg mengandung phenylpropanolamine al: Decolgen, Decolsin, Sinutab, Allerin, Bodrexin, Contac 500, Cosyr, Flucyl, Fludane, Flugesic, Inza, Komix, Mixaflu, Mixagrip, Nalgestan, Neozep forte, Nodrof, Paratusin, Procold, Rhinotussal, Sanaflu, Siladex, Stopcold, Triaminic drops, Tusalgin, …”

BPOM: Obat Ber-PPA Aman

Selasa, 21 April 2009 17:58 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memastikan bahwa produk obat batuk dan flu mengandung Phenylpropanolamine (PPA) yang beredar di pasaran dalam negeri aman dikonsumsi.

Kepala BPOM Husniah Rubiana Thamrin Akib di Jakarta, Selasa, mengatakan pihaknya kembali menyampaikan pemberitahuan itu karena sampai sekarang masih banyak anggota masyarakat yang menanyakan keamanan produk obat tersebut ke unit layanan pengaduan melalui surat elektronik dan pesan pendek.

“Jadi sekali lagi kami tegaskan bahwa obat flu dan batuk mengandung PPA yang telah mendapat izin edar dijamin aman bila dikonsumsi sesuai aturan pakai yang telah ditetapkan,” kata Husniah.

Pertanyaan masyarakat terkait keamanan obat flu dan batuk mengandung PPA sendiri berawal dari beredarnya informasi tentang pengumuman Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US-FDA) tertanggal 1 Maret 2009 mengenai penarikan obat batuk dan flu mengandung PPA di negara tersebut.

“Tidak benar ada pengumuman tentang penarikan obat flu dan batuk ber-PPA pada 1 Maret 2009. US-FDA memang pernah menarik peredaran obat yang mengandung PPA karena diduga ada hubungan antara penggunaan PPA dosis tinggi pada obat pelangsing dengan perdarahan otak tapi itu dilakukan bulan November tahun 2000,” jelasnya.

Lebih lanjut Husniah menjelaskan, di Indonesia penggunaan PPA hanya disetujui digunakan sebagai obat untuk menghilangkan gejala hidung tersumbat dalam obat flu dan batuk serta tidak pernah disetujui digunakan sebagai obat pelangsing.

Pada April 2001 BPOM juga sudah memberikan peringatan kepada publik mengenai batas aman penggunaan PPA dalam obat batuk dan flu serta rekomendasi kepada produsen untuk mencantumkan kandungan PPA dalam kemasan produk obat.

“Kandungan PPA yang masih diperbolehkan dalam obat batuk dan flu di bawah 15 miligram per takaran/dosis. PPA juga tidak boleh digunakan dalam obat batuk dan flu untuk anak usia di bawah enam tahun,” kata Deputi Bidang Pengawasan Produk Teurapetik dan NAPZA BPOM Lucky S. Slamet.

Lucky Slamet mengatakan, batas aman penggunaan PPA dalam obat batuk dan flu sebanyak 75 miligram per hari. “Jadi konsumsi 15 miligram per takaran relatif aman,” katanya.

Penggunaan PPA dalam obat batuk dan flu juga mesti disertai dengan pencantuman peringatan tidak boleh digunakan untuk penderita hipertensi dan hiperthyroid pada kemasannya karena bahan obat yang digunakan sebagai decongestan dalam obat batuk, flu, sinus serta alergi itu diduga dapat meningkatkan tekanan darah. “Efek samping semacam itu juga dimiliki oleh bahan obat yang lain,” demikian Lucky S. Slamet.

Obat Flu dan Batuk di Indonesia Aman

Kamis, 16 April 2009 12:03 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com ? Seluruh obat flu dan batuk di Indonesia aman dikonsumsi. Salah satu indikasinya adalah kadar phenylpropanolamine (PPA) yang sangat rendah, kurang dari 15 miligram.
“Sebagai perbandingan, di UK (Inggris) itu 100 miligram per hari. Kalau di Indonesia, kami mengambil standar yang paling rendah di dunia, yaitu 15 mg per takar atau 45 mg per hari,” ujar Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Husniah Rubiana Thamrin Akib, dalam konferensi pers di kantor BPOM, Jakarta, Kamis (16/4).
Hal tersebut disampaikannya untuk menampik isu mengenai dilarangnya PPA dalam obat. Menurut Husniah, PPA hanya dilarang untuk digunakan sebagai obat pelangsing. Oleh karena itu, Amerika menarik dan melarang penggunaan PPA untuk obat pelangsing. Kadar yang digunakan PPA untuk obat pelangsing cukup tinggi, 150 mg per takar. Ini dapat menyebabkan kematian.
Husniah juga berjanji akan mengontrol penggunaan PPA sebagai obat flu dan batuk di pasaran. “Tak hanya itu, semua zat yang digunakan sebagai pengganti PPA juga akan kami awasi karena jika digunakan berlebih dapat berbahaya,” jelasnya.

BPOM Tak Pernah Tarik Phenylpropanolamine

Kamis, 16 April 2009 19:51 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Elok Dyah Messwati
JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Pengawas Obat dan Makanan menyanggah mengeluarkan berita mengenai dilarangnya kandungan phenylpropanolamine/PPA dalam obat batuk dan flu yang beredar di Indonesia.
“Tidak benar pada tanggal 1 Maret 2009 US-FDA mengeluarkan pengumuman tentang penarikan PPA. Saat ini tidak ada informasi terbaru terkait keamanan PPA. Pada bulan November 2000, US-FDA menarik obat yang mengandung PPA karena diduga ada hubungan dengan perdarahan otak dengan penggunaan PPA dosis besar sebagai obat pelangsing,” kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Dr Husniah Rubiana Thamrin Akib di Jakarta, Kamis (16/4).
Menanggapi maraknya isu tentang informasi soal Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US-FDA) yang menarik PPA pada tanggal 1 Maret 2009, Husniah menyatakan bahwa BPOM masih mengizinkan peredaran obat flu dan batuk yang mengandung phenylpropanolamine/PPA, namun dengan mereduksi kandungan menjadi 15 mg per dosis.
Di Indonesia, PPA hanya disetujui sebagai obat untuk menghilangkan gejala hidung tersumbat dalam obat flu dan batuk dan tidak pernah disetujui sebagai obat pelangsing.
“Obat flu dan batuk yang mengandung PPA dan dijual di Indonesia, telah mendapat izin edar aman dikonsumsi sesuai aturan pakai yang ditetapkan. Dosis PPA yang diizinkan 15 mg per dosis,” kata Husniah Rubiana.

Hati-hati Gunakan Obat Batuk Flu pada Anak

Rabu, 30 Januari 2008 09:46 WIB
WASHINGTON, SELASA – Penggunaan obat batuk atau flu untuk anak-anak yang dijual bebas sebaiknya dilakukan dengan hati-hati. Efek sampingnya terbukti menjadi masalah serius dan dapat membawa petaka buat mereka.

Di Amerika Serikat misalnya, penggunaan obat-obat bebas flu dan batuk setiap tahunnya menyebabkan sekurangnya 7.000 anak usia di bawah usia 12 harus dibawa ke instalasi gawat darurat di Rumah Sakit. Menurut laporan yang dirilis oleh Centers for Disease Control (CDC), Selasa (29/1), kebanyakan dari korban harus mendapat perawatan karena mengalami overdosis.

Munculnya laporan ini tidak lama setelah Food and Drug Administration (FDA) juga mengeluarkan peringatan kepada para orang tua untuk membatasi penggunaan obat-obat bebas pereda batuk dan flu pada anak-anak khususnya di bawah dua tahun.

Para orang tua diminta untuk mewaspadai efek samping dari obat-obat bebas ini karena juga bisa mengancam kesehatan anak. Dalam laporan yang juga dimuat jurnal Pediatrics ini, produsen juga diminta lebih baik lagi dalam pembuatan kemasan, guna melindungi dan mencegah penyalahgunaan obat oleh anak-anak.

Dari sebuah penelitian terhadap anak-anak di bawah 11 tahun, tercatat sekitar 64 persen kasus efek buruk dari obat batuk dan flu ditemukan pada mereka yang berusia 2-5 tahun. Dua pertiga dari kasus yang sering terjadi adalah penggunaan obat-obat tanpa pengawasan orang tua. Sekitar 26 persen anak menunjukkan gejala-gejala efek samping seperti mengantuk,reaksi alergik atau efek sakit lainnya setelah orang tua memberikan obat sesuai dosis yang direkomendasikan.

?Para orang tua harus lebih waspada akan penggunaan obat-obatan ini dan menjaga dari jangkauan anak-anak Dan mereka seharusnya tidak merayu anak-anak untuk meminun obat dengan mengatakan bahwa obat tersebut adalah gula,? ungkap seorang ofisial CDC, Denise Cardo.

Dari mereka yang harus dikirim ke rumah sakit, lebih dari 90 persen dapat pulih dan pulang ke rumah dengan cepat. Para ahli tidak meneliti lebih dalam gejala spesifik yang dialami anak-anak. Namun mereka hanya menanyakan jenis obat seperti dekongestan, ekspektoran, antihistamin, obat pereda batuk dan obat-obat flu lainnya.